![]() |
Foto/Gambar Hanya Ilustrasi dari suaramedianews.com |
Artikel | SuaraMediaNews.com
Artikel ini dikirm oleh seseorang melalui Email SuaraMediaNews.com, pengirim memintan kisahnya dituliskan dan diterbitkan agar pengalaman pengirim menjadi inspirasi, kisah ini dikirim telah beberapa minggu yang lalu, menurut admin ini bisa menjadi inspirasi bagi kita, Selamat membaca.
"Karena rumah tangga adalah dua orang yang belajar bertumbuh bersama, bukan tiga generasi yang saling mengatur."
Sebut saja namanya "Senja" (nama samaran) seorang wanita disebuah kota kecil Ia menikah dengan "Adam" (nama samaran) pria sederhana yang penuh tanggung jawab.
Awal pernikahan mereka semua berjalan layaknya rumah tangga dan pasangan yang masih belajar seperti kisah dalam film-film.
Namun, semua itu perlahan berubah. Bukan karena hadirnya orang ketiga, bukan pula karena persoalan ekonomi, tetapi karena terlalu banyak suara yang masuk ke dalam bahtera mereka.
"Senja" tumbuh di keluarga kecil dan anak dan menjadi anak perempuan satu-satunya dan dekan dengan orang tuanya, mungkin terlalu dekat. Setelah menikah dengan Adam, seorang pria penyabar dan penuh tanggung jawab, Senja membawa kebiasaannya yang lama ke dalam rumah tangga barunya: melibatkan keluarga besar dalam setiap hal, termasuk masalah kecil sekalipun.
Awalnya Adam mencoba memahami. Ia tahu, Senja mencintai keluarganya. Namun, ia tak menyangka bahwa cintanya akan dipaksa berbagi tempat dengan banyak suara yang mengatur dan mengintervensi, bahkan dalam hal-hal yang seharusnya hanya milik berdua.
Setiap kali Senja dan Adam berselisih, entah soal pengasuhan anak, pembagian tugas rumah, hingga hal-hal sepele seperti pilihan warna baju Senja selalu mencari “bantuan” dari orang tuanya.
Bercerita kepada Ibunya jadi pelampiasan pertama ketia ia berselisih dengan suaminya. Ia menceritakan semua, dari yang penting hingga yang tidak penting.
Bukannya selesai, masalah justru semakin rumit. Campur tangan yang terlalu jauh dari orang tua membuat Senja mulai kehilangan kepercayaan dan rasa hormat terhadap Adam.
Apapun yang dikatakan suaminya dianggap salah, karena “kata Ibu tidak begitu”.
Padahal, tidak ada pernikahan yang bisa berjalan sehat jika selalu dibanding-bandingkan, apalagi dikendalikan oleh suara di luar lingkaran pasangan itu sendiri.
Setiap pertengkaran, setiap perbedaan pendapat, tak lagi diselesaikan di ruang makan atau kamar tidur mereka.
Sebaliknya, Senja akan langsung menghubungi ibunya, menceritakan dari awal hingga akhir, bahkan kadang dibumbui oleh emosi yang tak utuh.
Tak berhenti di situ, masalah rumah tangga mereka juga sampai ke telinga saudara laki-laki Senja, yang merasa memiliki tanggung jawab untuk “meluruskan” Adam.
“Aku kakaknya. dan aku tahu bagaimana yang pantas buat adikku,” begitu katanya saat mendatangi rumah tanpa diminta.
Adam merasa terpojok, tidak dihargai, dan tidak diberi ruang sebagai kepala keluarga. Setiap keputusan yang harusnya lahir dari diskusi suami-istri kini menjadi hasil dari musyawarah keluarga Senja.
Ketegangan demi ketegangan membuat rumah tangga mereka seperti kapal yang oleng di tengah badai dan tak ada kesempatan untuk menenangkan layar, karena badai itu datang dari dalam.
Lama-kelamaan, Adam mulai merasa seperti orang asing di rumah. Setiap keputusan harus melewati "izin" orang tua Senja. Ia tak lagi dihargai sebagai kepala keluarga, melainkan hanya sebagai pelengkap.
Senja tak sadar, bahwa kehadiran orang tua seharusnya menjadi pendukung dan pendoa, bukan pengendali rumah tangga anaknya.
Sampai suatu malam Adam berkata dengan suara lirih namun tegas
"Ini rumah tangga kita, Senja. tapi aku tidak bisa hidup dengan keluargamu. Aku butuh istri yang berdiri di sampingku, bukan di belakang keluarganya setiap kali kita berselisih. Kamu mau ikut Aku atau tetap dengan Keluargamu"
"Sementara biarkan Aku disini, untuk beberapa waktu, kata senja pada malam itu"
Kata-kata itu menyayat hati. Tapi Senja, yang terlanjur menggantungkan keputusannya pada orang tua dan saudara, tak mampu memisahkan mana rumah tangga, mana kendali.
Pertemuan terakhir mereka di meja mediasi pengadilan hanya berisi diam, dan air mata. Pernikahan mereka kandas, bukan karena kekerasan, perselingkuhan, atau kemiskinan, tetapi karena terlalu banyak campur tangan yang tidak pada tempatnya.
Pelajaran Berharga dari Kisah Senja dan Adam
Banyak pernikahan hari ini rusak bukan karena tidak adanya cinta, tapi karena tidak ada ruang yang aman untuk menyelesaikan masalah berdua.
Rasa cinta tak akan bertahan jika setiap konflik harus diselesaikan di hadapan orang tua, saudara, atau pihak luar yang tidak mengalami langsung apa yang terjadi.
Pernikahan bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling bersedia belajar, memahami, dan saling menjaga.
Renungan untuk Kita Semua
- Jangan libatkan orang tua atau saudara dalam masalah rumah tangga, kecuali dalam keadaan darurat.
- Bangun kepercayaan dan komunikasi yang sehat dengan pasangan.
- Hormati peran suami sebagai kepala keluarga, dan istri sebagai penopang utama rumah.
- Batas antara sayang dan mengontrol seringkali tipis, kenalilah itu sebelum terlambat.
"Kadang, cinta tidak hilang karena kebencian. Ia hilang karena terlalu banyak yang ikut mengatur jalannya.”
Semoga kisah Senja dan Adam menjadi cermin bagi setiap pasangan muda, bahwa rumah tangga bukan milik siapa-siapa, selain dua orang yang berjanji di hadapan Tuhan untuk saling menjaga.
Cinta tak cukup hanya dengan niat baik, tapi juga butuh keberanian untuk menutup pintu dari suara luar yang tak membantu, meskipun itu datang dari keluarga sendiri.
Editor: SN/ADM/