Artikel, SuaraMediaNews.com
Artikel ini, kirim seseorang yang minta untuk dapat diterbitkan Suara Media News, tetapi menurut admin ini bisa menjadi inspirasi bagi kita, Selamat membaca.
Kepercayaan itu seperti kaca ketika pecah, meskipun bisa disatukan kembali, bekas retaknya tetap terlihat.
Saya pernah merasakan hal itu. Bahkan sampai sekarang, rasa sakitnya masih membekas.
Bukan karena saya tidak bisa memaafkan, tapi karena saya belajar bahwa tidak semua orang layak mendapatkan kepercayaan penuh.
Saya adalah tipe orang yang mudah percaya. Bukan karena naif, tapi karena saya selalu ingin melihat sisi baik dari setiap orang.
Saya percaya bahwa jika kita memperlakukan orang lain dengan tulus, mereka akan melakukan hal yang sama kepada kita. Tapi pengalaman mengajarkan saya, dunia tidak selalu berjalan sesuai harapan.
Beberapa tahun lalu, saya menjalin persahabatan yang menurut saya sangat erat.
Dia adalah tempat saya bercerita, tertawa, bahkan menangis. Kami berbagi banyak hal mimpi, rencana hidup, dan rahasia yang tidak saya bagikan ke siapa pun.
Saya percaya sepenuhnya. Rasanya seperti menemukan seseorang yang benar-benar mengerti tanpa harus dijelaskan terlalu banyak.
Namun semua berubah perlahan. Ada hal-hal kecil yang mulai terasa berbeda. Dia mulai menjauh, tidak lagi mendengarkan seperti dulu.
Tapi saya tetap percaya, mungkin dia hanya sedang sibuk. Hingga suatu hari, saya mendengar dari orang lain bahwa dia membicarakan saya di belakang.
Bukan hanya itu, dia menyebarkan hal-hal yang tidak saya katakan, dan membelokkan cerita demi kepentingannya sendiri.
Saya kaget. Terluka. Tapi yang paling membuat hati saya hancur adalah kenyataan bahwa orang yang paling saya percaya, ternyata adalah orang yang paling menyakiti saya dari belakang.
Saya sempat mempertanyakan diri sendiri.
Apakah saya terlalu bodoh karena begitu percaya?
Apakah saya terlalu terbuka pada orang yang salah?
Tapi seiring waktu, saya menyadari bahwa bukan salah saya memberi kepercayaan. Kesalahan ada pada orang yang menyia-nyiakan kepercayaan itu.
Saya kecewa, iya. Sakit hati? .. Tentu.
Tapi dari pengalaman itu, saya belajar satu hal penting: "percaya itu boleh, tapi jangan sampai kehilangan kewaspadaan".
Tidak semua orang mampu menjaga hati kita seperti kita menjaganya.
Butuh waktu untuk pulih. Saya sempat menutup diri, sulit percaya pada siapa pun. Tapi saya tahu, hidup tidak bisa dijalani dengan kecurigaan terus-menerus.
Maka saya belajar pelan-pelan, bagaimana membangun kepercayaan dengan batasan yang sehat.
Saya belajar mendengarkan intuisi, dan tidak selalu harus membuka semua pintu hati kepada siapa pun.
Sekarang saya masih bisa percaya. Tapi saya lebih hati-hati. Saya belajar memberi ruang bagi diri sendiri untuk mengenal orang lebih dalam sebelum mempercayakan hati dan rahasia.
Karena bagi saya, "kepercayaan itu bukan tentang seberapa besar kamu memberi, tapi seberapa tepat kamu memilih kepada siapa kamu memberi."
Dan untuk kamu yang pernah merasa seperti saya—dikhianati, disakiti karena terlalu percaya yakinlah bahwa kamu tidak sendiri.
Rasa sakit itu nyata, tapi bukan untuk selamanya. Ia datang agar kamu belajar.
Bukan untuk membuatmu takut percaya lagi, tapi untuk membuatmu lebih bijak dalam memilih siapa yang kamu percayai.
Sumber : Gelis
Editor : San