| Foto : from cnbcindonesia |
SuaraMediaNews.com | Banjir bandang yang melanda Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara kembali membuka mata kita bahwa Indonesia masih berada dalam lingkaran darurat bencana. Setiap tahun, musibah serupa datang silih berganti, membawa korban jiwa, kerugian material, dan luka panjang bagi masyarakat. Namun pertanyaannya, sampai kapan kita terus terjebak dalam pola yang sama?
Peristiwa banjir bandang Sumatera Barat, diikuti dengan banjir Aceh dan bencana Sumatera Utara, bukan sekadar kabar duka. Ini adalah peringatan keras bahwa risiko bencana di Tanah Air semakin meningkat, sementara upaya mitigasi di berbagai daerah masih belum berjalan optimal.
Kerusakan hutan, alih fungsi lahan, serta pembangunan yang tak memperhatikan ruang hijau menjadi pemicu utama semakin parahnya dampak banjir bandang. Air hujan yang seharusnya dapat ditahan oleh hutan dan tanah, kini meluncur liar membawa material lumpur dan batu.
Di banyak wilayah terdampak, masyarakat telah lama menyuarakan kerisauan soal penebangan liar dan lemahnya pengawasan. Sayangnya, suara tersebut sering kali tak terdengar hingga bencana menghantam tanpa ampun.
Dalam konteks kebencanaan Indonesia, kita sering kali menuntut pemerintah hadir dengan cepat—itu benar dan harus. Tetapi mitigasi bencana tidak hanya menjadi tugas pemerintah. Masyarakat, pelaku industri, hingga tokoh adat dan agama memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan dan membangun budaya sadar risiko.
Pemerintah daerah hingga pusat perlu mempertegas kembali fungsi tata ruang, memperketat izin pembangunan, dan memastikan daerah rawan bencana memiliki infrastruktur perlindungan yang memadai. Di sisi lain, masyarakat juga harus memahami pentingnya menjaga kawasan hulu dan bantaran sungai dari aktivitas yang merusak.
Kita tidak bisa terus terpaku pada penanganan pasca-bencana. Mitigasi harus berada di garis depan. Mulai dari pemantauan cuaca berbasis teknologi, edukasi kebencanaan sejak dini, hingga penguatan jalur evakuasi di setiap daerah rawan.
Dengan kondisi geografis Indonesia yang penuh potensi bencana, sudah seharusnya kita menjadikan pendidikan mitigasi bencana sebagai budaya, bukan sekadar program tahunan.
Musibah di Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara seharusnya menggerakkan semua pihak untuk lebih serius menjaga lingkungan. Kita tidak bisa menunggu bencana berikutnya untuk kembali saling menyalahkan.
Bencana memang tak dapat sepenuhnya dihindari, tetapi dampaknya bisa diminimalkan bila semua elemen bangsa bersatu, peduli, dan bertindak sesuai kapasitas masing-masing. Inilah saatnya menjadikan mitigasi sebagai prioritas nasional, bukan sekadar kata-kata di atas kertas.
Kami ikut merasakan duka dan kesulitan yang dialami saudara-saudara kami di Sumatera. Semoga seluruh keluarga yang terdampak selalu diberi kekuatan, ketabahan, dan jalan keluar terbaik dari musibah ini.
Tidak ada ujian yang datang tanpa hikmah. Semoga banjir ini segera surut dan masyarakat dapat kembali menata kehidupan dengan hati yang kuat dan penuh harapan.Di tengah cobaan besar ini, semoga solidaritas dan kepedulian antarwarga terus tumbuh. Kita yakin, bersama-sama kita bisa bangkit lebih kuat dari sebelumnya.
Semoga setiap air mata yang jatuh menjadi penguat langkah-langkah baru untuk membangun kembali kehidupan. Kami percaya Tuhan tidak akan meninggalkan hamba-Nya.
Untuk seluruh korban banjir di Sumatera, semoga keamanan, ketenangan, dan kenyamanan segera kembali. Kami selalu memberikan yang terbaik untuk kalian.

