Gambar Foto : pexels-ayahditra-18619496/istock |
Raja Ampat, SuaraMediaNews.com – Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi sorotan publik dan para pejabat negara. Pemerintah menemukan sejumlah pelanggaran aturan lingkungan oleh perusahaan tambang di wilayah tersebut. Berita ini dikutip dari detikNews.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap bahwa ada empat perusahaan tambang yang diawasi, yakni PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP). Meski telah mengantongi izin usaha pertambangan, hanya tiga perusahaan yang memiliki persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH).
KLHK mencatat sejumlah pelanggaran serius. PT ASP, perusahaan asing asal China, melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem pengelolaan lingkungan dan air limbah. Akibatnya, pemerintah telah memasang plang peringatan dan menghentikan aktivitas di lokasi.
Sementara itu, PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag seluas ±6.030 hektare. Kedua pulau tersebut tergolong pulau kecil, sehingga pertambangan di dalamnya dinilai bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
PT MRP bahkan tidak memiliki dokumen lingkungan maupun PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele, dan seluruh kegiatan eksplorasinya telah dihentikan. Sedangkan PT KSM diketahui membuka tambang di luar izin lingkungan dan PPKH seluas 5 hektare di Pulau Kawe.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyampaikan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) PT Gag Nikel telah diberikan sejak tahun 2017 dan mulai beroperasi pada 2018. Ia menegaskan lokasi tambang berada di wilayah Piaynemo, sekitar 30–40 km dari kawasan wisata utama Raja Ampat.
Namun, kritik tetap mengalir dari berbagai pihak. Anggota DPR Fadli Zon menegaskan agar tidak ada investasi yang merusak keindahan alam dan situs bersejarah Raja Ampat. Ia mendukung penghentian sementara tambang untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati, meminta agar seluruh izin usaha pertambangan di Raja Ampat dievaluasi. Menurutnya, kawasan ini merupakan area konservasi dan taman nasional yang menjadi wajah keanekaragaman hayati Indonesia di mata dunia.
Ketua Komisi VII DPR, Saleh Daulay, juga meminta agar pemerintah mengecek legalitas dan dampak dari izin usaha pertambangan yang ada. Ia menekankan pentingnya mengevaluasi apakah masyarakat sekitar mendapat manfaat atau justru menjadi korban kerusakan lingkungan.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan pengawasan telah dilakukan sejak 26–31 Mei 2025. Evaluasi terhadap izin lingkungan PT ASP dan PT GN sedang dilakukan. Jika ditemukan pelanggaran hukum, izin lingkungan bisa dicabut.
“Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi,” tegas Hanif. seperti dikutip dari detiknews.
(Red/Tyo/Raja Ampat)